MAKALAH AL-WALA’ WAL-BARA’ JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB OLEH SAHBIDIN HASIBUAN
MAKALAH
Disusun dalam rangka
memenuhi tugas Pribadi Makalah Mata Tauhid,
pada Jurusan PBA, Semester III, di IAIN Padangsidimpuan
Disusun
O
L
E
H
MAYA MUNAH HARAHAP
FITRINI
MUNAWWAROH
MUHAMMAD WONG JAVA
KHOLIL BASRI
Dosen
Pembimbing
Drs. H. Nurfin Sihotang, M. A., Ph. D
JURUSANPENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU
KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
2016
AL-WALA’
WAL-BARA’
A.
Pendahuluan
Memahami
ajaran Islam secara menyeluruh adalah bagian dari manhaj Islam itu sendiri.
Kita diperintahkan untuk menyelami seluk-beluk Islam, mulai dari hal yang
sangat penting dan mendasar seperti akidah atau tauhid, hingga masalah hukum,
ibadah, muamalah, dan lain-lain. Allah l berfirman: “Maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya tidak ada (sesembahan, tuhan yang hak) selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
(Muhammad: 19) “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 30) Salah satu ajaran Islam yang dewasa ini
nyaris ditinggalkan dan dianggap tabu oleh sebagian orang, serta oleh sebagian
lainnya digembar-gemborkan secara membabi-buta tanpa bimbingan dan ketentuan
syar’i, adalah al-muwalah (sikap loyal/setia) dan al-mu’adah (permusuhan), atau
yang diistilahkan dengan al-wala’ wal bara’.
B.
Pengertian Al-wala’
wal bara’
Al-wala’
wal bara’ berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk mashdar dan
dibentuk dari dua kata yaitu al-wala` dan al-bara’. Al-wala’
secara etimologi mengandung beberapa arti, diantaranya yaitu: al-mahabbah
(mencintai), an-nushrah (pertolongan), al-ittiba’
(mengikuti), dan al-qurb wad-dunuww (kedekatan). [1]Jika
arti-arti kebahasaan itu direnungkan, maka arti kebahasaan itu semuanya akan
kembali pada an-nushrah wal mahabbah(pertolongan dan kecintaan).[2]
Pendapat lain menyebutkan bahwa arti dasar dari al-wala’ adalah al-mahabbah
(kecintaan) dan al-qurb (kedekatan).[3]
Adapun al-bara’ mengandung arti at-talakhkhush (membebaskan
atau melepaskan), at-tanazzuh (suci atau bersih), at-taba’ud
(menjauhi), dan a’dzara (mengajukan alasan), serta andzara (memperingatkan).[4]
Arti al-bara’ pada dasarnya adalah kembali pada makna al-bughdhu
(kebencian) dan al-bu’du (menjauhi)[5]Singkatnya,
para ulama cenderung memaknai al-wala’ secara bahasa dengan kecintaan
dan pertolongan atau sikap loyalitas dan kesetiaan. Adapun al-bara’
adalah kebalikan dari keduanya.
Secara
terminologi, menurut Muhammad bin Sa’id Al-Qahthani al-wala’ adalah
mendekatkan diri pada sesuatu dan menampakkan kecintaan serta kasih sayang
kepadanya baik dengan perkataan, perbuatan maupun dengan niat (hati).[6]
Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-wala` adalah
keselarasan (muwafaqah) antara keinginan seorang hamba dengan Rabbnya
terhadap segala sesuatu yang dicintai-Nya dan diridai-Nya, baik objek kecintaan
dan keredaan tersebut berupa ucapan, perbuatan, keyakinan, dan suatu zat
tertentu.[7]
Sementara al-bara’ adalah menjauh, berlepas diri dan timbul rasa
permusuhan setelah dilakukan upaya al-i’dzar (memberikan penjelasan
dengan argumentasi) dan al-indzar (peringatan).[8]
Dalam ungkapan lain, al-bara’ secara istilah dapat didefinisikan
sebagai keselarasan (muwafaqah) antara keinginan seorang hamba dengan
Rabbnya terhadap segala sesuatu yang dimurkai-Nya, dibenci-Nya, dan tidak
diredai-Nya, baik sesuatu yang dimurkai, dibenci, dan tidak diredai tersebut
berupa ucapan, perbuatan, keyakinan, dan person atau benda tertentu.[9]
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip al-wala’ wal bara’
adalah keselarasan (muwafaqah) antara keinginan seorang hamba dengan
Rabbnya terhadap segala sesuatu; baik yang dicintai-Nya dan diredai-Nya atau
pun yang dimurkai-Nya dan dibenci-Nya; baik sesuatu tersebut berupa ucapan,
perbuatan, keyakinan, dan terhadap person atau benda tertentu. Oleh itu, ada
empat hal yang dijadikan objek dalam pembahasan al-wala’ wal bara’,
yaitu:
1. Ucapan,
seperti dzikir yang merupakan ucapan yang dicintai Allah, dan laknat yang
merupakan kebalikannya.
2. Perbuatan,
seperti shalat, zakat, shaum sebagai sesuatu yang dicintai Allah, dan perbuatan
riba, zina, meminum khamar dan sebagainya sebagai sesuatu yang dimurkai-Nya.
3. Keyakinan,
seperti iman dan tauhid sebagai sesuatu yang diredai Allah, dan syirik dan
kekufuran sebagai sesuatu yang sebaliknya.
4. Person tertentu, seperti orang beriman dan bertauhid sebagai orang
yang dicintai Allah, dan orang kafir, musyrik, dan munafik sebagai person yang
dimurkai-Nya.[10]
C.
Disyariatkannya
Al-wala’ wal bara’
‘Isham
bin Abdullah As-Sanani -salah seorang profesor di Fakultas Syariah dan
Ushuluddin di Universitas Al-Qushaim, Saudi Arabia- menyebutkan bahwa diantara
prinsip keyakinan akidah Islam yaitu wajibnya seorang Muslim yang konsisten
terhadap kalimat tauhid untuk berwala’ pada sesama orang-orang yang
bertauhid, dan memusuhi orang-orang yang memusuhi tauhid tersebut. Hal ini
merupakan diantara inti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim yang
diperintahkan Allah untuk diikuti dan dijadikan teladan bagi setiap Muslim.[11]Sebagaimana
yang tercantum dalam firman Allah swt,
ô0s%ôMtR%x.öNä3s9îouqóé&×puZ|¡ymþ ÎûzOÏdºtö/Î)tûïÏ%©!$#urÿ¼çmyètBøÎ)(#qä9$s%öNÍhÏBöqs)Ï9$¯RÎ)(#ätÂuätç/öNä3ZÏB$£JÏBurtbrß0ç7÷ès?`ÏBÈbrß«!$#$tRöxÿx.ö/ä3Î/#y0t/ur$uZoY÷t/ãNä3uZ÷t/uräourºy0yèø9$#âä!$Òøót7ø9$#ur#´0t/r&4Ó®Lym(#qãZÏB÷sè?«!$$Î/ÿ¼çny0ômurwÎ)tAöqs%tLìÏdºtö/Î)Ïm9Î/L{¨btÏÿøótGóV{y7s9!$tBurà7Î=øBr&y7s9z`ÏB«!$#`ÏB&äóÓx«($uZ/§ y7ø9n=tã$uZù=©.uqs?y7ø9s9Î)ur$oYö;tRr&y7ø9s9Î)urçÅÁyJø9$#ÇÍÈ
“Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnyakami berlepas diri dari kamu dan dari
dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja’...”(QS. Al-Mumtahanah: 4)
Prinsip
al-wala’ wal bara’ juga merupakan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw dan diperintahkan Allah swt untuk umatnya, sebagaimana yang
tercantum dalam firman-Nya,
*$pk0r'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãYtB#uäw(#rä9Ï Gs?yqåkuø9$## t»|Á¨Z9$#uruä!$u9Ï9÷rr&¢öNåkÝÕ÷èt/âä!$uÏ9÷rr&<Ù÷èt/4`tBurNçl°;uqtGtöNä3ZÏiB¼çm¯RÎ*sùöNåk÷]ÏB3¨bÎ)©!$#w Ï0ôgttPöqs)ø9$#tûüÏJÎ=»©à9$#ÇÎÊÈ
“Wahai
orang-orang beriman! Janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin –auliya`-(mu); sebagian mereka
adalah adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
zalim.”( QS.
Al-Ma`idah: 51)
Ayat
ini merupakan larangan untuk berwala’ pada Ahli Kitab secara khusus
dan juga larangan untuk berwala’ pada orang-orang kafir secara khusus.[12]
Bahkan
Allah melarang orang-orang beriman untuk berwala’ kepada orang-orang
kafir meskipun mereka adalah orang yang paling dekat nasabnya.[13]
Allah swt berfirman,
$pk0r'¯»túïÏ%©!$#(#qãZtB#uäw(#ÿrä9Ï Fs?öNä.uä!$t/#uäöNä3tRºuq÷zÎ)uruä!$uÏ9÷rr&ÈbÎ)(#q6ystGó$#tøÿà6ø9$# n?tãÇ`»yJM}$#4`tBurOßg©9uqtGtöNä3ZÏiBy7Í´¯»s9'ré'sùãNèdcqßJÎ=»©à9$#ÇËÌÈ
“Wahai
orang-orang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudarmu
pemimpin-pemimpin –auliya`- mu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan, dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka
pemimpin-pemimpin –auliya`- mu, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.”( QS.
At-Taubah: 23)
Sebagaimana
Allah swt melarang (mengharamkan) seorang Muslim untuk berwala` pada
orang-orang kafir, sebaliknya Allah swt memerintahkan dan mewajibkan kepada
mereka untuk berwala’kepada orang-orang beriman, serta mencintai,
nenolong, dan membela mereka.[14]
Allah berfirman,
$uK¯RÎ)ãNä3 Ï9urª!$#¼ã&è!qßu urtûïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uätûïÏ%©!$#tbqßJ9É)ãno4qn=¢Á9$#tbqè?÷sãurno4qx.¨ 9$#öNèdurtbqãèÏ.ºu ÇÎÎÈ
“Sesungguhnya
penolong –wali- kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk
(kepada Allah).”(
QS. Al-Maidah: 55.)
$yJ¯RÎ)tbqãZÏB÷sßJø9$#×ouq÷zÎ)(#qßsÎ=ô¹r'sùtû÷üt/ö/ä3÷uqyzr&4(#qà)¨?$#ur©!$#÷/ä3ª=yès9tbqçHxqöè?ÇÊÉÈ
“Sesungguhnya
suadara orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman.”( QS. Al-Hujurat: 10.)
Selain
argumentasi dari Al-Qur`an, al-wala’ wal bara’ juga didasarkan pada
argumentasi As-Sunnah, antara lain sabda Nabi saw, “Sesungguhnya cabang
keimanan yang paling pokok adalah kamu mencintai sesuatu karena Allah swt dan
membenci juga karena Allah swt.”( HR. HR. Ahmad no. 17793)
Rasulullah
saw juga bersabda, “Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik,
jangan pula bergabung dengan mereka. Barang siapa tinggal dan bergabung bersama
mereka, dia bagian dari mereka.”( HR. al-Hakim 2/141-142)
D.
Hukum Al-Wala’ Wal Bara’
Hukum al-wala’ wal bara’
dalam syari’at Islam adalah wajib, bahkan merupakan salah satu konsekuensi
syahadat.
Mengenai hukum wajibnya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
wÉ9Ï GttbqãZÏB÷sßJø9$#tûïÍÏÿ»s3ø9$#uä!$uÏ9÷rr&`ÏBÈbrßtûüÏZÏB÷sßJø9$#(`tBurö@yèøÿtÏ9ºs}§øn=sùÆÏB«!$# Îû>äóÓx«HwÎ)br&(#qà)Gs?óOßg÷ZÏBZp9s)è?3ãNà2â Éj9yÛãurª!$#¼çm|¡øÿtR3 n<Î)ur«!$#çÅÁyJø9$#ÇËÑÈ
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan
orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka…” (Q.S. Ali ‘Imran: 28)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
*$pk0r'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãYtB#uäw(#rä9Ï Gs?yqåkuø9$## t»|Á¨Z9$#uruä!$u9Ï9÷rr&¢öNåkÝÕ÷èt/âä!$uÏ9÷rr&<Ù÷èt/4`tBurNçl°;uqtGtöNä3ZÏiB¼çm¯RÎ*sùöNåk÷]ÏB3¨bÎ)©!$#w Ï0ôgttPöqs)ø9$#tûüÏJÎ=»©à9$#ÇÎÊÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai
pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lainnya. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Q.S. Al-Maa-idah: 51)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
wß0ÅgrB$YBöqs%cqãZÏB÷sã«!$$Î/ÏQöqu9ø9$#urÌÅzFy$#cr !#uqãô`tB¨!$ym©!$#¼ã&s!qßu uröqs9ur(#þqçR%2öNèduä!$t/#uä÷rr&öNèduä!$oYö/r&÷rr&óOßgtRºuq÷zÎ)÷rr&öNåksEuϱtã4y7Í´¯»s9'ré&|=tF2 ÎûãNÍkÍ5qè=è%z`»yJM}$#Nèdy0r&ur8yrãÎ/çm÷YÏiB(....ÇËËÈ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang (yang menentang Allah
dan Rasul-Nya) itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka…” (Q.S. Al-Mujaadilah: 22)
E.
Kedudukan
Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam Islam
Akidah
al-wala’ wal bara’ dalam Islam berhubungan dengan wujud keislaman. Al-wala’
wal bara’ merupakan akidah, keyakinan, bahkan tuntutan dari kalimat tauhid
La ilaha illallah.
Akidah
al-wala’ wal bara’ mempunyai kedudukan tinggi yang terkait dengan
dasar-dasar keimanan. Kadudukan al-wala` wal bara` yang penting
tersebut dapat dijelaskan dalam poin-poin berikut:[15]
- Al-wala
wal bara’
merupakan bagian dari makna syahadat ‘La ilaha illallah.’ Makna ‘La
ilaha illallah’ adalah bentuk al-bara’ (berlepas diri) dari
setiap yang diibadahi selain Allah. Allah swt berfirman, “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut...
.”( Qs. An-Nahl: 36) Makna thaghut adalah setiap
yang disembah selain Allah swt.
- Al-wala`
wal bara`
merupakan ikatan keimanan yang paling kokoh. Hal ini ditegaskan oleh sabda
Rasulullah saw, “Sungguh katan keimanan yang paling kokoh adalah kamu
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”( HR Ahmad, no.
18524,)
- Mengamalkan
al-wala’ wal bara’ merupakan sebab seorang Muslim mendapatkan
kemanisan iman dan keteguhan keyakinan di dalam hatinya. Sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah saw, “Ada tiga perkara yang jika seseorang
dapatkan (dalam dirinya) maka ia akan mendapatkan kemanisan iman: (1)
lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dibanding (kecintaan) kepada
selainnya, (2) mencintai seseorang hanya kerena Allah, dan (3) membenci
kembali kepada kekafiran (murtad) setelah diselamatkan oleh Allah,
sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam neraka.”( HR.
Al-Bukhari, no. 16, 21, 6941)
- Al-wala`
wal bara`
merupakan dasar jalinan interaksi dalam masyarakat Muslim. Rasulullah saw
bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian
hingga ia mencintai (suatu kebaikan) untuk saudaranya, sebagaimana ia
mencintai (suatu kebaikan) untuk dirinya.( HR. Al-Bukhari, no. 13 )
Dan firman Allah swt, “Sesungguhnya saudara orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman.”( QS. Al-Hujurat: 10)
- Mencintai
karena Allah akan mendapatkan pahala yang besar. Rasulullah saw bersabda,
“Orang-orang yang saling mencintai (karena Allah) akan berada di
mimbar-mimbar dari cahaya di bawah naungan ‘Arsy pada hari tidak ada
naungan selain naungan-Nya.”( HR. Ahmad, no. 22064). Dan juga sabda
beliau, “Ada tujuh kelompok manusia yang akan dinaungi Allah pada hari
tidak naungan kecuali naungan-Nya” diantaranya yaitu “Dua orang
yang saling mencitai kerana Allah; keduanya bertemu karena-Nya dan
berpisah juga karena-Nya.”( HR. Al-Bukhari, no. 660 , 1423)
- Syariat
memerintahkan untuk mendahulukan ikatan al-wala` wal bara` bahkan
atas ikatan nasab. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga-keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiaannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”( QS At-Taubah: 24.)
- Dengan
merealisasikan akidah al-wala` wal bara` seorang Muslim akan
mendapat derajat sebagai wali Allah (walayatullah). Hal ini
sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas ra, “Barang siapa yang mencintai karena
Allah, membenci karena Allah, dan berwala`(berteman) karena
Allah, serta bermusuhan karena Allah, maka sungguh walayatullah
(menjadi wali Allah) hanya dapat diperoleh dengan hal itu.[16]
- Akidah
al-wala` wal bara` merupakan hubungan abadi antara manusia,
bahkan hingga hari kiamat. Allah swt berfirman, “(Yaitu) ketika
orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti,
dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka
terputus” (Qs. Al-Baqarah: 166) Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ‘segala hubungan antara merekaterputus’ adalah
hubungan yang didasarkan pada kecintaan.
- Al-wala`
wal bara`
merupakan salah satu syarat keabsaahan ikrar syahadat seorang Muslim saat
ia memeluk Islam. Ini karena diantara syarat keabsahan ikrar syahadat
adalah mencintai kalimat syahadat tersebut dan juga mencintai makna dan
konsekuensi dari syahadat, yaitu mencintai orang-orang yang
mengikrarkannya dan mendoakan kebaikan untuk mereka, serta membenci segala
sesuatu yang berlawanan dengan makna dan konsekuensi syahadat.
- Seorang
Muslim yang mencintai selain Allah dan selain agama yang telah diredai-Nya
(Islam), membenci Allah, agama-Nya, dan pemeluk agama-Nya, maka dia telah
kafir, keluar dari Islam.
- Al-wala`
wal bara`
merupakan diantara penyempurna keimanan seorang Muslim. Dalam sebuah
hadits dijelaskan, “Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci
karena Allah, memberi karena Allah, tidak memberi karena Allah, maka
sungguh iman (nya) telah sempurna.”
F.
Hak-Hak Al-Wala’
Wal Bara’
Pada
dasarnya prinsip al-wala’ wal bara’ merupakan keyakinan yang berada di
dalam hati setiap Muslim, yaitu memberikan wala’nya hanya kepada
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, dan memberikan bara’nya
kepada kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemaksiaan. Al-wala` pada
dasar adalah cinta, sementara al-bara’ adalah benci, yang keduanya
merupakan suatu yang berada di dalam hati. Namun kemudian dari hati tersebut
lahirlah perbuatan-perbuatan konkrit yang berperan dalam mengimplementasikan
kebenaran cinta atau mendustakaannya, dan menguatkan al-bara` atau
malah membatalkan klaimnya.
1. Hijrah
Yaitu
hijrah dari negeri kafir ke negeri Muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau
tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang
tidak memungkinkan.
Hijrah sangat erat kaitannya dengan al-wala` wal bara`,
bahkan merupakan tuntutan dan konsekuensi al-wala` wal bara` yang
terpenting. Sementara pembahasan yang paling mendasar pada tema hijrah adalah
persoalan menetap dan tinggal di negeri kafir, dan hijrah dari negeri kafir ke
negeri Islam. Negeri kafir (darul kufr) yaitu negeri yang dikuasai
oleh orang-orang kafir, hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum kafir dan
pelaksana hukumnya juga orang kafir. Sebaliknya, negeri Islam (darul islam)
adalah negeri yang dikuasai oleh orang-orang Islam, hukum ynag diberlakukan
adalah hukum Islam dan pelaksana hukumnya adalah juga orang-orang Islam,
meskipun kebanyakan penduduknya adalah orang-orang kafir.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
¨bÎ)tûïÏ%©!$#ãNßg9©ùuqs?èps3Í´¯»n=yJø9$#þ ÏJÏ9$sßöNÍkŦàÿRr&(#qä9$s%zNÏù÷LäêZä.((#qä9$s%$¨Zä.tûüÏÿyèôÒtGó¡ãB ÎûÇÚö F{$#4(#þqä9$s%öNs9r&ô`ä3s?ÞÚö r&«!$#Zpyèźur(#rãÅ_$pkçJsù$pkÏù4y7Í´¯»s9'ré'sùöNßg1urù'tBæL©èygy_(ôNuä!$yur#·ÅÁtBÇÒÐÈwÎ)tûüÏÿyèôÒtFó¡ßJø9$#ÆÏBÉA%y`Ìh9$#Ïä!$|¡ÏiY9$#urÈbºt$ø!Èqø9$#urwtbqãè9ÏÜtGó¡o \'s#9Ïmwurtbrß0tGöku0Wx9Î7yÇÒÑÈy7Í´¯»s9'ré'sùÓ|¤tãª!$#br&uqàÿ÷ètöNåk÷]tã4c%x.urª!$## qàÿtã#Y qàÿxîÇÒÒÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat
bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata:
‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’
Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali.’ Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita
ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan
(untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Q.S. An-Nisaa’: 97- 99)
a. Tinggal di Negeri Kafir
Mengingat
Islam adalah agama yang mulia dan agama yang kuat, Islam tidak menginginkan
pemeluknya tunduk kepada orang-orang kafir. Oleh karena itu, Islam melarang
umat Islam tinggal di tengah-tengah masyarakat non-Muslim. Sebab, tinggal
bersama mereka akan mengesankan persatuan dengan mereka; mengindikasikan
kelemahan; menjadikan jiwa lemah; menurunkan moral; dan menyebabkan seseorang
bersikap yang pada akhirnya mengikuti agama mereka.
Islam
menginginkan diri seorang Muslim selalu dipenuhi kemuliaaan dan kekuatan, dan
menjadi orang yang diikuti bukan mengikuti. Islam juga menginginkan seorang
Muslim memiliki kekuasaan yang di atasnya tidak ada lagi kekuasaan selain
kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, Islam mengharamkan seorang Muslim tinggal di
negeri yang tidak dikuasai oleh Islam, kecuali jika ia mampu menampakkan
keislamannya dan bisa beramal sesuai dengan tuntutan akidah tanpa
mengkhawatirkan dirinya terkena fitnah. Jika tidak mampu, maka ia harus hijrah,
meninggalkan negeri itu ke negeri yang dikuasai oleh Islam. Jika ia tidak mau
melakukan itu maka Islam berlepas diri darinya selagi ia mampu untuk berhijrah.
Ulama
membagi orang-orang yang tinggal di negeri kafir menjadi tiga golongan.
Pertama,
tinggal bersama mereka karena keinginan dan pilihannya untuk berteman dengan
orang-orang kafir. Bahkan ia rela dengan agama mereka, menyanjung-nyanjung
mereka, rela bila mereka mencela kaum Muslimin, atau malah membantu mereka
dalam mengalahkan kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan lisannya. Hukum orang
seperti ini adalah kafir.
Kedua,
tinggal bersama-sama mereka demi mempertahankan harta, anak keturunan, atau
negeri tempat tinggal. Sementara itu, dia tidak mau menampakkan agamanya padahal
ia mampu hijrah. Di sisi lain, ia tidak membantu mereka dalam memerangi umat
Islam, baik dengan jiwa, harta, dan lisan. Ia juga tidak berwala`
kepada mereka, baik dengan hati maupun lisannya. Orang seperti ini tidak
dihukum kafir hanya kerena mereka tinggal bersama-sama orang kafir, namun para
ulama berpendapat bahwa orang seperti itu telah melakukan kemaksiatan kerena
tidak mau berhijrah meskipun batin mereka membenci orang-orang kafir.
Ketiga,
tinggal di tengah-tengah orang kafir, namun mereka bisa menampakkan agamanya
dan bara`nya terhadap orang-orang kafir dan perbuatannya, juga
menyatakan dengan terang-terangan bara’nya terhadap mereka dan
menyatakan bahwa mereka tidak berada di atas kebenaran, tetapi di atas
kebatilan. Atau tinggal bersama-sama mereka karena kondisi lemah (tertindas).
Mereka tersebut diperbolehkan dan tidak berdosa tinggal bersama-sama orang
kafir serta tidak diwajibkan untuk berhijrah.
b. Hijrah dari Negeri Kafir ke Negeri Islam
Hijrah
memiliki kedudkan yang sangat agung dan merupakan perkara yang amat besar.
Kerena hijrah adalah cabang dari al-wala` wal bara`. Hijrah bahkan
merupakan tugas dan konsekuensi al-wala` wal bara` yang paling nyata.
Dalam
konsep Islam, hijrah memiliki pengertian yang universal, tidak sebatas
perpindahan dari negeri kafir ke negeri Islam atau hijrah jasmani saja, tetapi
juga mencakup hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud dari berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya adalah seseorang berhijrah (berpindah) dengan hatinya dari
mencintai selain Allah ke mencintai Allah saja; dari beribadah kepada
selain-Nya ke ibadah kepada Allah semata; dari rasa takut, mengharap dan
bertawakal kepada selain Allah, ke rasa takut, mengharap dan tawakal kepada
Allah; dari berdoa, memohon, tunduk dan merendahkan diri kepada selain Allah,
ke berdoa, memohon, tunduk dan merendahkan diri hanya kepada Allah.
Adapun
berkaitan dengan hijrah jasmani (anggota badan), maka hijrah dapat dibagi
menjadi beberapa macam, yaitu:
1) Hijrah
dari negeri kafir yang memberangi Islam (darul harbi) ke negeri Islam.
Hijrah jenis ini telah diwajibkan sejak masa Nabi saw dan akan tetap wajib
hukumnya hingga hari kiamat.
2) Keluar
dari daerah bid’ah. Imam Malik berkata, “Seorang Muslim tidak halal tinggal di
suatu daerah yang di dalamnya orang-orang salaf di cela.”
3) Keluar
dari daerah yang dipenuhi barang-barang haram. Mengingat mencari barang yang
halal adalah wajib atas setiap Muslim.
4) Lari
menghindar dari penyiksaan fisik. Hal ini merupakan rukhshah
(keringanan) dari Allah. Artinya, jika seseorang mengkhawatirkan dirinya di
suatu tempat, maka Allah mengizinkannya untuk keluar dari daerah tersebut untuk
menyelamatkan diri dari bahaya yang tengah mengancamnya.
5) Takut
terjangkit penyakit karena tidak cocok tinggal di suatu daerah (negara) yang
cuacanya tidak sehat. Keluar dari daerah seperti ini ke daerah yang lebih
bersih, hukumnya boleh. Namun tidak termasuk dalam kategori ini, keluar dari
daerah yang terserang tha’un (wabah), sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits Nabi saw.
6) Meninggalkan
suatu wilayah karena khawatir hartanya akan di rampas. Karena kehormatan harta
seorang Muslim itu sama dengan kehormatan darahnya, demikian juga keluarganya,
atau bahkan itu lebih kuat lagi.
2. Membantu
dan menolong kaum Muslimin
Yaitu
membantu dan menolong kaum Muslimin dengan lisan, harta dan jiwa di semua
belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama.
Allah
Subhanahu wa Ta’alal berfirman:
¨bÎ)z`Ï%©!$#(#qãZtB#uä(#rãy_$ydur(#rß0yg»y_uróOÎgÏ9ºuqøBr'Î/öNÍkŦàÿRr&ur ÎûÈ@9Î6y«!$#tûïÏ%©!$#ur(#rur#uä(#ÿrç|ÇtR¨ry7Í´¯»s9'ré&öNåkÝÕ÷èt/âä!$u9Ï9÷rr&<Ù÷èt/4tûïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uäöNs9ur(#rãÅ_$pkç0$tB/ä3s9`ÏiBNÍkÉJu9»s9ur`ÏiB>äóÓx«4Ó®Lym(#rãÅ_$pkç04ÈbÎ)uröNä.rç|ÇZoKó$# ÎûÈûïÏd09$#ãNà6ø9n=yèsùçóǨZ9$#wÎ)4 n?tã¤Qöqs%öNä3oY÷t/NæhuZ÷t/ur×,»sVÏiB3ª!$#ur$yJÎ/tbqè=yJ÷ès?×ÅÁt/ÇÐËÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan
orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang
Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara
kamu dengan mereka. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.
Al-Anfaal: 72)
3. Mencintai
kaum Muslimin
Yaitu
hendaklah ia mencintai kaum Muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,
baik berupa memberi kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati
mereka, tidak menyombongkan diri dan tidak dendam kepada mereka. Ahlus Sunnah
berusaha untuk berkumpul bersama mereka.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
÷É9ô¹$#ury7|¡øÿtRyìtBtûïÏ%©!$#cqããô0tNæh/u Ío4ry0tóø9$$Î/ÄcÓÅ´yèø9$#urtbrß0Ìã¼çmygô_ur(wurß0÷ès?x8$uZøtãöNåk÷]tãß0Ìè?spoYÎ Ío4quysø9$#......$u9÷R 09$#(ÇËÑÈ
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan
orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini…” (Q.S. Al-Kahfi: 28)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Salah
seorang di antaramu tidaklah dikatakan beriman sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (di dalam perkara kebaikan)” [17]
4. Menjaga
kehormatan kaum Muslimin
Yaitu
tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan tidak ghibah serta tidak melakukan
namimah (berita yang menyebabkan permusuhan/mengadu domba) terhadap sesama kaum
Muslimin.
Melakukan
apa yang menjadi hak-hak kaum Muslimin seperti menjenguk yang sakit atau
mengantar jenazah, mendo’akan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka,
mengucapkan salam kepada mereka, tidak curang dalam bergaul dengan mereka,
tidak memakan harta mereka dengan cara yang bathil dan lainnya.
5. Bersatu
dalam jama’ah kaum Muslimin
Yaitu
bersatu padu ke dalam satu jama’ah kaum Muslimin berdasarkan ‘aqidah dan manhaj
yang benar sebagaimana dicontohkan oleh generasi awal terbaik ummat ini (para
Sahabat Radhiyallahu anhum). Dan tidak berpecah belah, serta senantiasa tolong
menolong dalam kebaikan dan taqwa, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar.
(#qßJÅÁtGôã$#urÈ@ö7pt¿2«!$#$Yè9ÏJy_wur(.....#qè%§xÿs?4.ÇÊÉÌÈ
“Berpegang-teguhlah
kamu kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai….” (QS.
Ali ‘Imran: 103)
Sedangkan
dalam sumber lain dijelaskan beberapa hak-hak al-wara’ wal-bara’ yaitu sebagai
berikut:
1. Hijrah
2. Membantu
dan menolong kaum muslimin
3. Terlibat
dalam permasalahan kaum muslimin
4. Mencintai
kaum muslimin seperti mencintai diri sendiri
5. Tidak
mengejek, melecehkan, mencari aib dan berghibah serta menyebarkan namimah
kepada kaum muslimin
6. Mencintai
dan selalu berusaha berkumpul bersama kaum muslimin
7. Melakukan
apa yang menjadi hak kaum muslimin (menjenguk yang sakit, mengantar jenazah,
dll)
8. Bersikap
lembut, mendoakan serta memohon ampun bagi kaum muslimin
9. Amar
ma'ruf nahi munkar serta menasehati kaum muslimin
10. Tidak
cari-cari aib dan kesalahan kaum muslimin serta buka rahasia mereka kepada
musuh Islam
11. Memperbaiki
hubungan di antara kaum muslimin
12. Tidak
menyakiti kaum muslimin
13. Bermusyawarah
dengan kaum muslimin
14. Ihsan
dalam perkataan dan perbuatan
15. Bergabung
dalam jamaah kaum muslimin dan tidak berpisah dengan mereka
G.
Kesimpulan
Allah ‘Azza wa Jalla
telah menetapkan kebahagiaan hakiki bagi orang yang mengikuti dan melaksanakan
agama Islam dengan sungguh-sungguh sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla
telah menetapkan kesengsaraan dan kehinaan bagi orang yang memerangi agama
Islam. Sesungguhnya pokok agama Islam adalah kalimat tauhid Laa ilaha
illallah, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah. Dengan
mengucapkan dan mengamalkan kalimat inilah dibedakan muslim dan kafir,
dipaparkan keindahan surga dan panasnya neraka. Dan tidaklah tauhid seseorang
sempurna sampai ia mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, memberi
karena Allah dan tidak memberi karena Allah. Inilah yang disebut al wala’
wal baro’.al-Wala` dan al-Bara` maksudnya adalah: mencintai orang-orangyang
beriman dan loyal kepada mereka, membenci orang-orang kafir danmemusuhi mereka,
berlepas diri dari mereka dan dari agama mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qahthani Muhammad bin Sa’id, Al-Wala’
wal Bara’ fil Islam, Kairo: Al-Fathu lil I’lamil ‘Arabi, 1417 H.
Ibnu Taimiyah Ahmad bin Abdul Halim,
Al-Furqan Baina Auliya`ur Rahman wa Auliya`usy Syaithan, Damaskus:
Maktabah Darul Bayan, 1985.
Al-Buraikan Ibrahim bin Muhammad, Al-Madkhal
li Dirasatil ‘Aqidah Al-Islamiyyah ‘Ala Madzhabi Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
Riyadh: Dar Ibnul Qayyim, 2003.
As-Sanani ‘Isham bin Abdullah, Muktashar
Haqiqatul Wala’ wal Bara’ fil Kitabi was Sunnah, hlm. 8.
http://www.saaid.net/book/open.php?cat=1&book=5788
Abdullah bin Mubarak, Az-Zuhdu war Raqa`iq, Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt.
Hartini,
Al-Wara’ Wal-Bara’, Online: http://izzis.web.id/al-wala-wal-bara-wali-allah-705.htm, diakses 8 November 2016, pukul. 13.30 WIB
Admin, Al-Wara’ wal-bara’,
Online: http://www.alislam.or.id, diakses 8 November 2016,
pukul. 13.30 WIB
[2]Al-Qahthani Muhammad bin
Sa’id, Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, (Kairo: Al-Fathu lil I’lamil
‘Arabi, 1417 H), hlm. 87.
[3]Ibnu Taimiyah Ahmad bin Abdul
Halim, Al-Furqan Baina Auliya`ur Rahman wa Auliya`usy Syaithan,
(Damaskus: Maktabah Darul Bayan, 1985), hlm. 9.
[4]Ibnu Manzhur, Op. Cit., hlm.
33.
[5]
Ibnu Taimiyah, Op.
Cit.,, hlm. 9.
[7]Al-Buraikan Ibrahim bin
Muhammad, Al-Madkhal li Dirasatil ‘Aqidah Al-Islamiyyah ‘Ala Madzhabi Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, (Riyadh: Dar Ibnul Qayyim, 2003), hlm. 224.
[9]Ibid.,, hlm. 225.
[10]Ibid.
[11]As-Sanani ‘Isham bin
Abdullah, Muktashar Haqiqatul Wala’ wal Bara’ fil Kitabi was Sunnah, hlm. 8.
http://www.saaid.net/book/open.php?cat=1&book=5788
[13]Ibid.
[14]Ibid.
[15]Al-Buraikan, Op. Cit.,hlm.
225-227.
[17]
Hartini, Al-Wara’ Wal-Bara’, Online: http://izzis.web.id/al-wala-wal-bara-wali-allah-705.htm,
diakses 8 November
2016, pukul. 13.30 WIB
[18]Admin, Al-Wara’ wal-bara’, Online: http://www.alislam.or.id , diakses 8
November 2016, pukul. 13.30 WIB
Comments
Post a Comment